PT SOLID GOLD BERJANGKA - Bagi sebagian masyarakat DKI Jakarta, mungkin sudah tidak asing lagi dgn Museum Fatahillah atau Museum Batavia, di kawasan Kota, Jakarta Barat. Namun, tahukah sejarah di balik kemegahan gedung dua lantai yg dibangun pada 1710 itu? Di antaranya Galgenveld atau Lapangan Tiang Gantungan, yg kini menjadi halaman museum berkelir putih itu. Banyak cerita eksekusi mati mengerikan di Galgenveld, yg umumnya kasus perzinaan pada awal berdirinya Kota Jakarta. Berbagai kasus menimpa para wanita dgn tuduhan perzinaan, spt diungkapkan oleh Leonard Blusse, dlm disertasinya di Universitas Leiden, Belanda, yg kemudian dibukukan dgn judul Persekutuan Aneh. "Tapi, untuk mengisahkan cerita-cerita di atas, saya harus terlebih dahulu mengajak Anda ke Museum Sejarah DKI Jakarta di Jalan Falatehan 1, Jakarta Barat itu," demikian dikutip dari buku karya Alwi Shahab itu. "Gedung antik yg masih berdiri megah ini dulunya merupakan tempat eksekusi para tertuduh, ketika berfungsi sbg stadhuis atau balai kota & jg pengadilan." "Di karangannya terdapat tiang gantungan." Di antara ruangan lantai dua museum tersebut terdapat "pedang keadilan". Pedang yg panjangnya sekitar 1 meter & berwarna kehitam-hitaman karena termakan usia itu, menjadi saksi sejarah pemenggalan kepala. "Tapi sayangnya para algojo kadang-kadang kurang profesional." "Sering sekali setelah beberapa kali tebasan, baru kepala terhukum terpisah dari badannya," spt tertulis dlm buku setebal 161 halaman itu. Sebelum eksekusi berlangsung, pihak pengadilan lebih dulu mengajak rakyat beramai-ramai menyaksikannya di Galgenveld. "Sejak hari-hari awal riwayat permukiman Batavia, Pemerintah VOC berusaha menghilangkan jiwa gelandangan & kecabulan." "Hingga hukuman yg kejam & peraturan keras, merupakan praktik yg lazim berlaku," sebut Leonard Blusse dlm disertasinya, yg dikutip dlm buku tersebut. Namun sayang, Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal keempat & keenam Hindia Belanda itu tidak bisa memberikan contoh dlm membina rasa keadilan saat itu. Kisahnya, Jaques Speax, anggota Dewan Hindia Belanda yg kemudian menggantikan Coen, saat dipanggil pulang ke Belanda, telah menitipkan putrinya, Sara kepada Coen. Sara adalah hasil perkawinan Speax dgn gundiknya seorang wanita Jepang. Baca Juga : Tolak Lakukan Adegan Seks, Amber Heard Dituntut Bayar Denda | PT Solid Gold Berjangka Oleh Coen, Sara yg baru berusia 13 tahun ini dipekerjakan sbg seorang di antara dayang-dayang istrinya, Eva.
Remaja itu akhirnya tertangkap basah saat berkencan dgn kekasihnya, Cortenhoeff, yg berusia 17 tahun di kediaman Coen. Cortenhoeff, yg merupakan calon perwira muda tampan, kemudian dihukum pancung. Sedangkan, Sara yg masih di bawah umur ditelanjangi & dipertontonkan di depan umum di pintu masuk Balai Kota yg kini menjadi Museum Fatahillah. Coen menolak memberikan grasi walaupun para pendeta mendesaknya. Jaques Speax, kemudian menggantikan Coen (1629-1632), menolak ikut serta dlm kebaktian di gereja bersama para hakim yg mengadili putrinya. "Sedangkan, para pendeta yg membela para hakim disingkirkan Speax ke kapal di Pelabuhan Sunda Kelapa," tulis buku terbitan 2001 itu. Blusse jg mencatat peristiwa sengketa hukum yg terjadi pada 1639 terhadap Catrina Casembroot & teman-temannya yg berdarah Asia. Catrina, janda Nicolaes Casembroot, seorang pedagang di Batavia, dituduh berzina dgn sejumlah laki-laki. Baik ketika suaminya masih hidup maupun setelah meninggal. Kasus yg sama jg melibatkan Lucia de Coenja, yg merupakan teman dekat Catrina. Sedangkan, Annika da Silva, seorang pribumi, istri Leendert Jacobs, seorang serdadu VOC, jg dituduh berzina saat suaminya masih hidup. Bahkan, Annika dituduh berusaha membunuh suaminya dgn cara meracuninya. Keputusan pengadilan waktu itu: Catrina dibenamkan dlm tong berisi air. Tiga perempuan lainnya saat itu, diikat di tiang & satu demi satu dicekik hingga meninggal. Tak hanya itu, wajah mereka jg dicap & harta bendanya disita. "Masih banyak lagi contoh pelaksanaan hukuman mati pada tiang gantungan di depan Balai Kota dgn pedang guilotone," tulis buku tersebut. Selain itu, yg paling sering menjadi korban adalah para budak belian hanya karena persoalan sepele yg dilaporkan majikannya. Budak belian pada waktu itu merupakan kelompok penduduk terbesar di Batavia sampai awal abad ke-18. "Adolf Heuken, penulis Jerman yg banyak menulis sejarah Jakarta, berpendapat keputusan hakim pada masa itu tidak selalu adil." "Bahkan, kadang-kadang sangat tidak adil," demikian kutipan buku tersebut. (Prz - PT Solid Gold Berjangka)
0 Comments
Leave a Reply. |
Visit Us
Archives
June 2021
Categories
All
|